Inspirasi Kesehatan Kisah serial Nyata (dr Hisbullah)

Sore itu saya mendapat konsul dari daerah, wanita 70 tahun dengan gagal napas telah terpasang pipa endotrakea. Penderita tersebut dikirim karena di rumah sakit tempat dia di rawat tidak ada ventilator (mesin bantu napas). Lazimnya pasien yang tidak bisa bernapas oleh berbagai sebab akan dipasang pipa di saluran napas kemudian untuk membantu pernapasan dibantu dengan mesin pernapasan. Pasien ini dirujuk karena keterbatasan alat di rumah sakit daerah dan perlu tindakan spesialistik yaitu spesialis bedah tumor.

Setelah saya melakukan anamnesis secara saksama ternyata pasien tersebut telah berobat sampai ke surabaya dan telah di vonis sebagai karsinoma tiroid metastasis ke paru. Menurut keterangan keluarganya, dokter di Surabaya menganjurkan pasien pulang karena tidak ada rencana tindakan medis lagi. Pernah diusulkan untuk dilakukan kemoterapi tetapi pasien menolak. Dokter yang merawat bilang “ pulang ke kampung saja pak, makan yang enak. Cari saja obat herbal. Siapa tahu bisa membantu. Penyakit Ibu sudah stadium lanjut. Dia lebih membutuhkan keluarganya dari pada dokter” Itu penjelasan dari salah satu keluarganya.  

Sekarang sudah hari ketujuh selang napas di kerongkongan, pesien tersebut sudah bisa napas sendiri tanpa bantuan mesin napas. Selang napas yang terpasang di mulut ke kerongkongan membuat pasien tidak nyaman, nyeri, selalu terangsang batuk. Lazimnya setelah satu minggu terpasang, selang napas di kerongkongan harus dicabut dan diganti dengan kanula trakeostomi, yaitu selang napas lebih pendek yang dimasukkan di kerongkongan dengan cara melubangi tenggorokan dari arah leher sedikit di bawah jakun. Hal ini dilakukan untuk memperpendek jalur napas, memudahkan penyedotan lendir, memudahkan pembersihan saluran napas, mengurangi resiko infeksi. Seterusnya pasien bisa bernapas dengan nyaman bahkan banyak pasien yang pulang ke rumah dengan bernapas lewat lubang di lehernya.

Setelah saya konsul ke bagian bedah, ternyata trakeostomi tidak bisa dilakukan karena tumur gondok ada diseluruh daerah kerongkongan sehingga tidak menyisakan sedikitpun celah untuk membuat lubang. Lalu bagaimana? tidak mungkin pasien ini hidup terus menerus dengan selang mulut-kerongkongan. Apakah bisa dicabut saja sehingga pasiennya bernapas spontan seperti biasa. Resikonya terlalu besar karena bila selang itu dicabut tentu saluran napasnya akan tersumbat lagi oleh desakan tumor yang ada di leher. Bila saya cabut selang napas tersebut dan ternyata pasien itu tidak bisa bernapas, maka harus dipasang lagi dan belum tentu berhasil. Memasang selang napas bukan pekerjaan mudah, apalagi kita diburu waktu, dimana kurang dari 5 menit harus sudah terpasang dan bila tidak resikonya pasien bisa meninggal. Tentu saja saya tidak mau mengambil resiko pasien seperti tercekik segera setelah saya cabut selang napasnya.

“Apakah bisa dioperasi saja  mengangkat tumur di leher yang penting desakan ke jalan napas bisa dikurangi” tanya saya ke dokter bedahnya. “Tidak bisa dok. Tumor sudah menyebar di seluruh lapangan paru. Apalagi tumur di leher kelihatan melengket. Dari kami tidak ada opsi operasi. Mungkin bisa kemo kalau keadaan umumnya memungkinkan”. Demikian dokter bedahnya menjelaskan. Tidak ada rencana tindakan (operasi gondok), tidak bisa trakeostomi, Alternatif hanya mempertahankan selang napas di mulut-kerongkongan. Orang hidup dengan selang napas terus menancap di mulut sampai kerongkongan? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya orang ini. Tentu tidak mungkin selang itu terus ada di situ. Suatu saat saya harus mencabutnya. Kapan saya harus mencabut selangnya ?, bagaimana jika setelah saya cabut pasien sesak dan selang napas baru tidak bisa saya pasang lagi ?. Siap mentalkah saya menerima kenyataan pasien yang tadinya sadar dan dalam waktu beberapa menit kemudian dia meninggal dan seluruh keluarganya menangis. Ditengah kegalauan apa yang harus saya lakukan selanjutnya, saya pandangi wajah pasien tersebut. Pasien itu memandangi saya dengan pandangan tulus, penuh terima kasih, matanya seakan berkata, tolong saya dokter, nasibku di tanganmu, apapun yang dokter putuskan saya terima. 

Saya tidak sanggup jika visite tiap hari  selalu memandang wajahnya yang lugu penuh harap. Saya seakan tidak berdaya. Puluhan tahun saya sekolah ternyata masih banyak yang saya tidak ketahui. Ya Allah tolong hambamu. Dalam kondisi seperti ini saya terasa sangat kecil tak berarti. Dengan berbekal pengetahun, keterampilan di ICU, peralatan yang lengkap ternyata saya seakan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai suatu saat setelah berpikir dua hari, saya menguatkan hati. Saya harus mengambil keputusan. Apapun resikonya. Selang napas-kerongkongan pasien tersebut harus saya cabut. 

Saya memutuskan akan mencabut selang napas tersebut di pagi hari dengan pertimbangan tenaga dan pikiran masih segar, banyak orang yang bisa dimintai tolong. Setelah penjelasan ke keluarga, mempersiapkan alat dan obat emergensi, dengan segenap doa kehadirat Ilahi, dengan ucapan“Bismillahir Rahmani Rahim”, pipa endotrakeal saya cabut. Ternyata semua yang saya takutkan tidak terjadi. Pasien napas spontan, bisa berbicara kembali, makan seperti biasa. Alhamdulillah. Singkat cerita pasien bisa keluar ICU dan rawat ruangan dan beberapa hari kemudian pulang ke rumah. Setelah beberapa hari di rumah ternyata pasien sesak lagi dan di intubasi (pasang selang napas) pasang ventilator (mesin napas). Demikian seterusnya sampai pasien pulang ke rumah. Beberapa kali pasien itu datang lagi dengan keluhan yang sama, sesak tidak bisa bernapas lalu diintubasi-ekstubasi kemudian membaik dan pulang.

Saya sudah lupa dengan pasien itu, sampai suatu waktu jam setengah dua malam saya di telepon oleh dokter jaga UGD, “ dok pasien yang ca tiroid tempo hari masuk lagi dok, sesak sekali napasnya. Sekarang ada di UGD. Bisa masuk ICU dok ? soalnya ini impending gagal napas”. Karena  sangat mengantuk tanpa bertanya dan berpikir saya jawab saja “ ya masukkan saja. Besok saya lihat.” Belum sempat hilang ingatan, dengan mata masih terpejam, saya angkat telepon dari dokter jaga ICU. “dok pasien dari UGD sudah di ICU sekarang. Tapi ini sekarang sudah apnue (henti napas), sementara kami RJP (pijat jantung). Bagaimana dok kami lanjutkan atau DNR. Dokter mau datang ya. Kelihatannya ini sulit intubasi. Tolong ya dok”. Demikian dokter jaga ICU dengan suara cepat. “ Ya dilanjutkan saja. Tetap di baging (bantu napas), saya usahakan datang.”

Ditengah malam buta, saya bangun duduk berpikir, sebenarnya saya sekarang sangat capek, baru pulang operasi dua jam lalu. Mungkin belum setengah jam tidur. Apakah saya harus datang, apakah masih ada manfaatnya saya datang, apakah aman di jalan (sekarang lagi musim geng motor, begal motor di beberapa wilayah di Makassar). Tidakkah ini tindakan sia-sia. Pasien tersebut sudah tua, tumor leher ganas mendesak jalan napas dan sudah menyebar ke paru-paru. Tidak ada lagi tindakan medis untuk mengobati tumornya. Tetapi dia sekarang datang lagi dengan kondisi sekarat, sesak, tercekik sangat tersiksa. Mungkin sudah ada malaikat maut yang memandangi dokter dan perawat   yang lagi berusaha memberi bantuan napas dan pijat jantung demi mempertahankan hidupnya. Mungkin inilah akhir hidup pasien saya itu. Kalau saya datang dan memasang pipa napas tentu dia bisa bernapas lagi. Tetapi apakah tindakan itu memperpanjang hidupnya atau memperpanjang penderitaannya. Tidakkah lebih baik saya “membiarkan” dia meninggal dengan tenang. Dengan tidak memasang pipa napas  bukan  berarti saya tidak berusaha menolong dan membiarkan pasien mati. Pasien itu akan meninggal alamiah karena proses penyakitnya. Kita pasti punya keterbatasan. Tidak semua penyakit bisa kita obati. Keluarganya sudah pasrah. Sudah mengusahakan semua alternatif pengobatan, medis dan non medias. Semua upaya medis juga sudah dilakukan. Sekarang pasien tersebut sedang berbaring tidak berdaya, disampingnya jongkok perawat dan dokter memompa dadanya, berusaha agar jantungnya berdenyut kembali. Seorang lagi memegang masker wajah memompa alat napas mengendalikan napas pasien.  Kalau saya memutuskan berangkat ke Rumah Sakit belum tentu pasien itu masih hidup biasanya pada kasus sesak napas yang lama dan orang tua, henti jantungnya sulit didenyutkan kembali.

Ini adalah dilema etis praktek kedokteran. Mungkin tidak etis melakukan resusitasi jantung paru pada tumor stadium terminal. Adalah tindakan sia-sia jika kita sudah tahu bahwa prognosis pasien jelek, pasti meninggal lalu melakukan tindakan berlebihan seperti memasang intubasi dan melanjutkan pijat jantung. Lebih tidak etis lagi membiarkan pasien meninggal dalam kondisi seperti tercekik, padahal beberapa menit lalu pasien masih sadar baik. Tindakannya sederhana, memasang pipa di saluran napas. Cekikan hilang pasien bisa napas lagi. Meskipun pada akhirnya pasien itu meninggal paling tidak dia masih bisa menikmati sisa-sisa hidupnya, memberi dia kesempatan beribadah, bersama keluarga, mungkin juga beribadah atau bertobat.    

Saya memutuskan untuk datang. Apa pertimbangan saya datang ?. Tidak ada. Saya tidak berpikir etis atau tidak etis. Berhasil dan tidak berhasil, sia-sia atau bermanfaat. Saya datang karena saya kasihan sama pasien itu. Saya tidak sampai hati. Pasien itu sangat baik. Wajahnya yang lugu dan senyumnya yang tulus sangat berharga buat saya. Saya merasa sangat dihargai dengan senyum tulusnya. Keluarganya juga sangat baik. Mereka tidak pernah mengeluh. Tegur sapanya sangat sopan. Setiap saya visite mereka semua selalu mengucapkan selamat pagi (pasien saya ini orang kristen yang taat). Meskipun mereka tahu tidak ada lagi yang bisa saya perbuat tetapi mereka masih sangat menghargai apapun upaya saya. Dukungan keluarga  terhadap semua tindakan saya memberikan energi dan semangat yang tiada henti.

Kondisi pasien saat saya datang sudah tidak ada usaha napas. Pijat jantung oleh perawat dan dokter jaga berhasil. Jantungnya sudah berdenyut kencang. Saya pasang pipa napas dan memberikan bantuan napas. Tidak terasa azan subuh terdengar, mesin napas saya hidupkan, pasien napas dengan bantuan mesin. Saya harus istirahat dan shalat subuh.  Saya masih sempat istirahat meluruskan badan di mushala rumah sakit sampai petugas pagi datang, tetapi perawat ICU dan dokter jaga ICU tidak bisa istirahat. Mereka melanjutkan memandikan pasien, membuat laporan dan melakukan serah terima dengan perawat ICU yang tugas pagi. Mereka tidak pernah istirahat, bahkan untuk dudukpun tidak sempat. Saya harus pulang mandi untuk persiapan kerja lagi sepanjang hari. Sebelum ke mobil saya sempatkan kembali ke ICU melihat beberapa pasien dan tentu saja pasien yang saya intubasi tadi. Ternyata pasien itu buka mata. Alhamdulillah, meskipun saya belum bisa melihat senyumnya paling tidak pasien itu seperti tidak jadi mati, artinya saya masih punya kesempatan untuk mendapatkan senyuman,  menerima ucapan terima kasih yang tulus.

Kisah ini kisah nyata. Apa hikmah dibaliknya ?

1.      Hidup harus diperjungkan. Pasien ini sudah tua dan tahu bahwa penyakitnya sudah tidak ada harapan untuk disembuhkan, tetapi dia tidak mau menyerah. Dia dengan segala cara berjuang untuk hidup. Dia selalu optimis bahwa dia masih bisa hidup sekecil apapun peluangnya. Optimis adalah harta tak ternilai. Tidak boleh orang berputus asa dengan hidup. Orang sehat kadang kadang berpikir untuk mati meskipun dengan alasan yang sepele. Rugilah orang yang berpikir untuk mengakhiri hidup alias bunuh diri.

2.      Hidup itu mahal. Keluarga pasien ini sudah mengeluarkan banyak uang untuk usaha kesembuhan, tetapi tidak berhasil. Mereka masih mau mengeluarkan biaya demi keluarganya meskipun mereka tahu tindakan itu sia-sia. Banyak orang sehat menyia-nyiakan kesehatannya, tidak menjaga kesehatannya, bahkan banyak yang merusak kesehatan misalnya dengan meminum alkohol, merokok, narkotik dan lain-lain. Kita baru sadar betapa besar arti hidup sehat ketika kita sudah terlanjur sakit. Penyesalan selalu datang terlambat. Pengobatan terbaik adalah dengan mencegah jangan sampai sakit. Banyak orang memburu karir, mencari uang sebanyak-banyaknya tanpa disadari bahwa usahanya itu mengorbankan kesehatannya. Ketika dia jatuh sakit, uang yang dia dapat sangat tidak cukup untuk menyembuhkan penyakitnya, mengembalikan kesehatannya merupakan usaha yang mustahil.

3.      Hubungan yang baik antara dokter dan pasien haruslah tetap dijaga. Komunikasi yang baik akan sangat membantu para tenaga medis untuk menjalankan profesinya. Dokter dan perawat adalah manusia biasa, punya keterbatasan, tidak semua penyakit bisa mereka tangani. Pengertian, dukungan dan kerja sama pasien atau keluarga sangat mereka butuhkan. Berikan ruang untuk bekerja dan mengambil keputusan terbaik untuk kenyamanan dan kesembuhan pasien. Semua dokter dan perawat pasti berniat untuk mengusahakan yang terbaik buat pasien.

4.      Pada kondisi tertentu kita dihadapkan pada suatu dilema antara resiko dan manfaat, dilema antara etis dan tidak etis tindakan medias. Pada akhirnya kita harus memutuskan. Pada kasus lain kita memutuskan tidak melanjutkan bantuan hidup. Bahkan pada pasien tertentu sudah di vonis do not resuscitation (DNR). Meskipun pasien itu masih dirawat. Banyak sekali yang dipertimbangkan seperti, latar belakang agama, budaya, pendapat keluarga, biaya dan keterbatasan alat dimana obat dan alat lebih dibutuhkan oleh orang yang peluang hidupnya lebih besar. Pada akhirnya sebagai orang beragama kita hanya berikhtiar dan berdoa, keputusan ada pada Allah yang maha kuasa (Catatanharian : Dr.dr.Hasbullah.