Kisah Hikmah, Pasar Sentral, Aku dan Ayah (Part Universitas Kehidupan Muh Akbar Bahar)


Entahlah beberapa hari ini saya banyak berkunjung ke bagian hidup yang telah lama tertinggal oleh lompatan-lompatan waktu yang terasa makin hari makin lincah dan cepat. Berkunjung ke masa lalu selalu membutuhkan keberanian tersendiri karena bagiku hal ini selalu berhasil menguras begitu banyak energi. Bepergian dengan ingatan ke fragmen-fragmen kisah yang dulu bagi saya serupa perjalanan spritual dalam mempertajam intuisi-intuisi kehidupan. Membuka lembaran kita-kitab kehidupan yang sudah berdebu memaksa saya sedikit terbatuk, bukan karena alergi, tetapi lebih karena terkaget oleh kelalaian, betapa banyak hikmah yang tersirat dan tersurat dalam tiap bait kehidupan ini.
 
Yah akhir-akhir ini saya banyak membaca tulisan-tulisan yang terkait dengan kota kelahiranku. Kota dimana sukmaku telah tertambat dan akan selalu menjadi tempatku tuk kembali, sejauh manapun kaki ini menjejak. Kota Makassar, kota yang menyaksikan bagaimana saya tumbuh menjadi apa adanya AKU saat ini. Kota tempat saya ditempa oleh tangan kekar nan lembut milik lelaki yang sangat kubangga dan kuhormati. Lelaki yang saya juluki my silent mountain, tak pernah banyak bicara, tetapi selalu ada untuk mengayomi. Dan kota Makassar dengan simbolnya telah menjadi wadah mengalirnya rasa kasih itu. Bagi saya, ketika mengingat kota Makassar dimasa lalu maka tiga simbol yang langsung terbayang, yaitu karebosi, losari dan sentral. Ketiga tempat ini telah memberi jejas bagi kehidupan masa kecil saya.
 
Terlahir sebagai anak sulung membuat saya menjadi saksi bagaimana ekonomi keluarga perlahan demi perlahan merangkak menuju perbaikan hingga saat ini, alhamdulillah. Sebagian kisah-kisah yang lalu itu masih jelas teringat dan sebagian lagi diketahui hanya melalui cerita ayah dan ibu. Yang jelas bahwa ketika saya masih kecil kehidupanku tak ‘seberuntung’ dengan kehidupan adik-adikku. Sewaktu kecil, saya tak pernah dibelikan mainan oleh orang tua saya. Mungkin bagi beberapa teman angkatan pasti juga memiliki pengalaman yang sama. Tetapi yang membedakan mungkin, saat itu saya sudah bertempat tinggal di kompleks perumahan yang dikelilingi dengan orang-orang mampu. Awalnya orang tua hanya mengontrak, hingga kemudian mampu membangun rumah kecil seadanya dipinggiran kompleks. Jadilah teman-teman masa kecil saya sedikit gedongan.
 
Kala itu, ketika bermain dengan teman-teman, saya dipastikan menjadi penonton atau penggembira. Saya akan berlari-lari dibelakang sepeda mereka, dijadikan korban yang akan ditembaki dengan pistol-pistol mainan atau bertugas menjadi penjaga barang. Hal ini membuat saya sering kreatif membuat mainan sendiri. Apapun yang saya dapati, mulai dari baterai hingga batu-batuan bisa menjadi bahan permainan saya. Kuingat saat itu, saya memilki koleksi 'mainan' sendiri, yang saking sayangnya tak boleh ada seorang pun menyentuhnya tanpa seizin saya. Apakah saya sedih karena tak memiliki mainan mewah seperti teman-teman saya? Yah awalnya sangat sedih karena harus selalu menjadi ‘anak bawang’ diantara teman-teman. Tetapi saya tak pernah merengek meminta mainan kepada ayah dan ibu, disebabkan karena saya mencoba mengerti ekonomi keluarga yang belum stabil saat itu. Ada sebuah fragmen peristiwa yang sangat berbekas diingatan saya dan terkait dengan salah satu simbol kota Makassar, yaitu pasar sentral, yang membuat saya lebih cepat paham kondisi keuangan keluarga.
 
Ketika itu, walau kehidupan kami sederhana, selalu saja ada keluarga yang dititipkan di rumah kami, apakah ia statusnya sepupu ataukah om/tante. Mereka hidup dan besar bersama keluarga saya. Fragmen yang saya maksud bermula pada saat saya sedang bermain tembak-tembakan dengan sepupu saya (kami berbeda dua tahun, beliau lebih tua). Dia memiliki pistol mainan bekal dari orang tuanya sedang aku hanya berbekal pistol-pistolan yang saya buat dari kertas (kalau anda pernah membuat ini, maka saya yakin kehidupan masa kecil anda terselamatkan, *smile). Entah bagaimana mulanya kami pun bertengkar sengit, mungkin saat itu karena saya iri dengan pistol yang dia miliki. Sayapun menjadi rewel dan menangis ingin punya pistol seperti itu. Mungkin karena lelah mendengar rengekan saya, ayah pun tiba-tiba berucap, besok kita ke sentral beli pistol seperti itu. Mendengar hal itu hatiku pun berbunga-bunga. Maklumlah, dulu pasar sentral sebuah tempat yang sangat istimewa bagi saya. Mungkin seistimewa mal bagi anak-anak kecil saat ini. Zaman itu, jika orang tua mengajak ke sentral, senang hati tak terkira, dan bisa menjadi sesuatu yang dibanggakan ke teman-teman sepermainan.
 
Keesokan harinya ayahpun mengajak saya ke sentral. Bagai melihat surga mainan, banyak sekali mobil-mobilan dan  pistol yang saya lihat. Kamipun berjalan dari satu toko ke toko lainnya, tetapi saya heran, ayah tak kunjung membeli satupun pistol untuk saya. Kami berjalan mengelilingi pasar itu hampir setengah hari, tetapi ayah belum mampu mencapai kata sepakat dengan para penjual yang kami kunjungi. Dan akhirnya dengan perlahan ayah mengakui kepada saya bahwa uang yang dibawanya tak sesuai dengan harga pistol yang dijual disitu. Sayapun terdiam, dalam hati sangat sedih terasa, tetapi saya harus mengerti bahwa walaupun saya kembali merengek tak akan ada gunanya. Toh saya sudah puas melihat berbagai jenis pistol yang dijual disitu. Itu sudah lebih dari cukup dan saya rasa sudah adil karena ayah telah berusaha menyenangkan saya. Akhirnya saya mengangguk tanda setuju untuk mengakhiri petualangan di pasar sentral hari itu. Hari itu adalah pertama kali dan terakhir kali ayah mengajak saya ke sentral dengan niat membelikan mainan.
 
Sejak peristiwa itu, sepanjang ingatan, saya belajar untuk tak lagi meminta barang apapun dari ayah. Dan kebiasaan ini terbawa hingga saya remaja sehingga setiap kali ayah bertanya barang kebutuhan saya, saya selalu menjawab tidak ada, saya masih merasa cukup dengan apa yang saya miliki. Dan karena keseringan menjawab seperti itu, ayah pun ketika membelikan barang tak pernah memberi tahu sebelumnya. Selalu saja ada kejutan di kamar saya, apakah itu baju baru ataukah sepatu baru, yang terkadang karena tak memberitahu, baju atau sepatu itu ukurannya kebesaran. Terakhir kali saya malah sempat marah karena kebiasaan ayah ini. Pada saat ayah ingin mengganti motor tua saya dengan motor saya saat ini. Diam-diam ketika saya keluar kota, ayah menjual motor lama saya. Ketika pulang dan tak mendapati motor kesayangan saya itu, ibu memberitahu niat ayah. Saya sangat marah karena menurut saya motor itu masih nyaman digunakan dan telah memberi saya banyak kenagan. Lalu saya bersikeras agar motor tua saya dikembalikan. Tetapi begitulah ayah, ketika sudah berkeinginan tak ada yang bisa menghentikan niatnya. Keesokan harinya dia membawakan saya beberapa brosur motor baru dan menjelaskan niatnya. Pun saya harus luluh dan menerima pemberian beliau.
 
Makin hari makin kesini saya berfikir, apakah segala yang dilakukan ayah, membelikan begitu banyak barang yang sebenarnya saya tidak butuhkan, sebagai ‘balasan’ karena beliau tak sempat memanjakan saya dengan barang-barang yang saya inginkan dulu disaat kecil. Tetapi yang jelas saya sudah lebih mengerti bahwa peristiwa pasar sentral 22 tahun lalu, pastilah sangat menyakitkan hati beliau sebagai seorang ayah.   
 
Dan saat ini, ketika kutelah memiliki penghasilan, beliau tak pernah mau saya belikan apapun. Setiap kali kutanyai, beliau selalu hanya menyarankan kepada saya untuk menabung. Sepertinya keadaan telah terbalik, kali ini saya yang harus membelikan barang untuk beliau tanpa konfirmasi. Terakhir kali saya belikan beliau barang, ternyata kekecilan.  *smile
 
Di matanya saya masih selalu anak lelaki kecilnya sedangkan di mataku beliau makin menua, dengan uban memenuhi kepalanya. Beliau sudah tak terlihat seperkasa lelaki yang dulu kupegang jari telunjuknya ketika menuju ke mesjid. Waktu benar-benar telah berhasil mengerogoti fisiknya. Tetapi bagiku, bagaimanapun beliau tetap lelaki tampan penuh wibawa, yang dalam diamnya telah banyak mengajari saya untuk tumbuh menjadi lelaki untuk istri dan anak-anakku kelak.
 
Aku rindu ayah...Ingin rasanya memeluk beliau dan berterima kasih, rasa-rasanya saya belum pernah melakukan ini..
 
Toyama, 14-12-2012
 
Tulisan ini saya buat setelah membaca Renungan Asal (49) dari seorang budayawan dan satrawan, Asdar Muis, beliau menulis :
 
‘Kita melewati masa kanak penuh kenangan. Kita besar karena beragam pengalaman, termasuk derita dan kehidupan susah. Namun mengapa di kekinian, kita tak ingin melihat anak-anak kita menderita sebagai pendewasaan diri. Kita mencetaknya menjadi manusia instan yang langsung besar tanpa punya kenangan pahit. Akibatnya, kita mencetak anak-anak yang bingung menyikapi kerasnya hidup. Dan kita tetap saja memanjakan lalu lupa bila kita besar karena derita. Begitukah mestinya ?’
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan Dokter-apoteker: Apoteker-dokter Pengalaman.

Dari Kondom hingga Lipitor.