Hubungan Dokter-apoteker: Apoteker-dokter Pengalaman.

Hubungan dokter-apoteker : apoteker-dokter, sebuah pengalaman.

Saya sebenarnya selalu merasa berat jika ingin menulis mengenai tema ini karena cukup sensitif walaupun dapat dikatakan bukanlah sesuatu yang rahasia. Tema ini akan selalu melibatkan ego keprofesian yang disembunyikan di balik jas profesi masing-masing, ditutupi dan dipeluk erat-erat, seakan tanpa ego itu entitas keprofesian kita tercederai. Banyak sekali keluhan dari dua pihak profesi ini akan ketidakprofesionalan dalam menjalankan tanggung jawab masing-masing. Dan sayangnya keran komunikasi seakan tersumbat oleh ego ini dan adapun mampu mengalir tak lebih dari sekedar umpatan yang sayangnya lebih sering memberi luka dibandingkan suka. Padahal jika ego ini dapat ditikam dan dilumpuhkan, sinergitas kerja profesional dari masing-masing profesi dengan berlandaskan pengakuan akan kompetensi masing-masing melalui asas saling menjaga dan menghargai, maka cita-cita pembangunan kesehatan bukanlah hal yang mustahil untuk segera terwujudkan, tentunya dengan peran profesi kesehatan lainnya.
 
Saya jelas tak mampu memotret kondisi kedua profesi secara objektif dikarenakan saya berijazah apoteker dan pernah kerja sebagai seorang apoteker. Pun tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai justifikasi akan kebenaran satu profesi. Tetapi tulisan ini saya niatkan sebagai bentuk menunaikan janji yang tak sempat terucap kepada seorang kakak, yang sedang berjuang mengabdikan ilmunya sebagai seorang apoteker yang benar, dengan tujuan untuk berbagi pengalaman yang pernah saya alami selama bekerja sebagai seorang apoteker di rumah sakit. Harapannya bahwa sharing ini mampu membuat kita, sebagai seorang apoteker, untuk saling menyemangati dan menguatkan dalam menaklukkan barrier ego yang sudah terlanjur sangat tebal. Bukankah perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri ?. so marilah kita merubah diri sehingga mampu setidaknya memberikan sedikit image positif bagi profesi yang kita sandang.
 
Hari itu sekitar jam 8 malam waktu sulawesi, kakak ini menghubungi saya untuk diskusi mengenai kasus yang ditemukannya di tempat beliau bekerja. Beliau menanyakan mengenai Evidence Based Medicine (EBM) penggunaan asam mefenamat dengan dosis lebih dari 1 g/hari dan penggunaan asam mefenamat untuk pasien dengan umur dibawah 14 tahun. Setelah saya membaca beberapa artikel dan juga mengirimi beliau beberapa elektronic book, kamipun berdiskusi dan akhirnya sampai ke kesimpulan bahwa hal ini harus dikomunikasikan ke dokter yang meresepkannya. Tetapi kakak ini lalu mengungkapkan pengalamannya berkomunikasi dengan dokter yang baginya meninggalkan kesan kurang nyaman. Setelah sedikit memberi saran akhirnya beliau bertekad untuk kembali mencoba berkomunikasi dengan dokter di tempatnya. Saya mengatakan bahwa saya juga memilki pengalaman seperti itu seraya dalam hati berjanji akan menuliskannya.
 
Saya pernah bekerja di apotek UGD sebuah rumah sakit propinsi. Walaupun tidak lama, setidaknya saya bisa merasai secara nyata hubungan kedua profesi ini, tidak sekedar mendengar pendapat subjektif dari kedua profesi yang telah kuketahui sebelum masuk ke dunia ini. Ada dua pengalaman yang saya ingin tuliskan disini, pengalaman sebagai pihak yang ‘salah’ dan pengalaman sebagai pihak yang ‘benar’.
 
Pengalaman sebagai pihak yang ‘salah’
 
‘ Saat itu, saya bersama seorang asisten apoteker mendapat jatah jaga pagi. Mendekati jam 12 siang seorang pasien dari poli jiwa datang membawa resepnya, kalau tidak salah ingat ada dua obat yang tercantum dalam resepnya HLP dan THF. Ketika memberi assesment ke resep si pasien, saya merasa bahwa dosis HLP yang dicantumkan berada dibawah dosis yang lazim digunakan akibatnya saya harus memecah dosis sediaan yang ada dan mengemasnya kembali. Untuk memastikan bahwa dokter menginginkan dosis tersebut saya pun dengan percaya dirinya menelepon poli jiwa dan meminta izin berbicara dengan dokter yang meresepkan. Sesaat kemudian, telepon saya diangkat oleh perawat dan setelah ditanyai maksud saya menelepon, sang perawat menyampaikannya ke dokter. Setelah menunggu beberapa lama, sang perawat kembali berbicara kepada saya dan mengatakan bahwa dokter lagi sibuk dan menolak berbicara dengan saya. Dan sang perawat pun memaksa saya menyampaikan pertanyaan melalui dirinya, setelah saya sampaikan, ibu perawat pun mengatakan kepada saya bahwa pasien itu adalah pasien lama dan sudah sering mendapatkan dosis seperti itu, dokter tidak mungkin salah meresepkan. Duh saya pun merasa malu, saya lupa menanyakan ke pasien apakah dia pasien yang sudah lama atau pasien baru.’
 
Disinilah letak kesalahan saya yang terlalu bersemangat untuk melakukan crosscheck mengenai resep yang saya nilai tanpa terlebih dahulu melibatkan pasien dalam komunikasi untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisinya. Dan hal seperti inilah mungkin yang kadang membuat dokter merasa terganggu. Menanyakan sesuatu yang seharusnya sudah mampu kita ketahui tanpa berkomunikasi dengan dia.
 
Hal yang juga disayangkan bahwa di apotek tidak dilengkapi dengan medication record yang digunakan untuk mencatat obat dan dosis yang digunakan oleh pasien-pasien yang harus menggunakan obat dalam jangka waktu lama. Memang hal ini telah tercatat di medical record pasien tetapi berapa banyak dari kita, apoteker, yang meniatkan diri untuk mengaksesnya ?. Medication record ini sangat penting utamanya dalam hal monitoring efek samping obat (MESO).
 
Yang juga menjadi perhatian saya adalah kita sebagai apoteker muda sangatlah kekurangan ilmu yang terkait dengan EBM. Kita terlalu textbook dan menilai semuanya serba hitam putih. Padahal banyak sekali ilmu mengenai obat yang tidak tercatat dalam textbook terkait dosis dan kombinasi obat yang mana dimiliki oleh dokter berdasarkan pengalamannya dalam menghadapi penyakit-penyakit tertentu. Kurangnya pengalaman klinik memaksa kita haruslah melakukan investigasi dan komunikasi mendalam terhadap sebuah resep. Kita tidak boleh tergesa dalam memberikan vonis ‘tidak rasional’ tanpa bukti yang ilmiah. Saya teringat perkataan seorang dokter bedah, ‘ itu anak-anak (merujuk apoteker muda) sudah bertahun-tahun saya menggunakan obat ini, eh dia bilang tidak rasional’. Ataukah kisah yang dituturkan oleh seorang ahli rheumatologi dalam sebuah seminar kefarmasian yang mengatakan dia pernah memarahi apoteker dikarenakan apoteker tersebut menyampaikan ke pasien bahwa metotrexat yang dia resepkan adalah obat kanker. Spontan si pasien kembali ke dokter untuk protes karena merasa tidak menderita kanker. Dan hasilnya sang dokter pun harus marah besar ke apotek.
 
Disini terlihat kesalahan komunikasi yang fatal dilakukan oleh apoteker dimana hal-hal seperti ini bisa makin mengurangi rasa percaya dokter ke apoteker. Dan tentunya ini akan berakibat kepada memburuknya kerja sama dokter-apoteker ke depan.
 
Pengalaman sebagai ‘pihak yang benar’
 
‘Saat saya jaga sore seorang diri, seorang ibu membawa resep dari bangsal anak. Saya lihat tercantum resep puyer diazepam dengan dosis pemberian 25 mg 4 kali sehari. Sayapun kaget dengan dosis ini, terlalu besar pikirku padahal ini berasal dari bangsal anak, pasiennya pasti anak-anak. Akhirnya saya putuskan untuk bertanya kepada si ibu, menanyakan umur dan berat pasien yang ternyata adalah anak beliau. Pun dari percakapan kuketahui bahwa anaknya mengalami kejang sehingga dibawa ke rumah sakit. Informasi yang saya dapatkan anaknya berumur enam tahun dengan berat sekitar 20 kg. Segera kuhitung dosisnya dan kudapati bahwa dosisnya sepuluh kali lebih besar, sayapun bertanya dalam hati ada apa dengan pasien ini ataukah dokter melakukan kesalahan ?. Kuputuskan menelepon bangsal anak yang kemudian dijawab oleh perawat. Saya menjelaskan kebutuhan saya untuk berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep, setelah menunggu beberapa lama, perawat menjawab dokter lagi sibuk dan mengatakan benar ia menginginkan dosis tersebut.
 
Sayapun terdiam, kuhitung kembali dosisnya dan saya kembali berpikir tidak mungkin anak ini meminum diazepam 10 mg sebanyak 2,5 tablet tetapi dokter mengatakan dia menginginkan dosis ini. Batin saya menolak meracik resep ini, saya kembali memutuskan menelepon bangsal anak dan kembali diangkat oleh perawat. Setelah saya jelaskan kepada sang perawat dan menanyakan pengalamannya, perawat pun setuju jika dosis itu terlalu besar dan berusaha menghubungkan saya dengan dokter yang memberi resep. Akhirnya dokter pun berada diujung telepon, setelah saya menyampaikan maksud saya, dengan agak tegas beliau mengatakan anak ini besar (merujuk ke berat badan) dan dia kejang makanya saya resepkan dosis seperti itu. Telepon berakhir, meniggalkan saya membatu diantara dua keputusan, meracik atau tidak.
 
Saya agak lama berfikir, hingga akal sehat dan tanggung jawab profesi memaksa saya nekat untuk mengunjugi sang dokter di bangsal anak. Jika memang saya yang salah biarlah saya dimarahi toh niat saya baik dan adapun jika beliau memang menginginkan dosis itu maka setidaknya saya harus mendapatkan parafnya di resep sebagai bentuk pertanggungjawabannya dan lepasnya tanggung jawab saya sebagai peracik. Sesampainya di bangsal anak, saya mendapati beliau berada diantara pasien, ternyata beliau adalah residen anak. Setelah memperkenalkan diri dan meminta kesediaannya untuk berdiskusi, dia mempersilahkan, tetapi saya mengatakan sebaiknya diruangan beliau saja, beliaupun menyanggupi. Setelah memperlihatkan resep pasien, beliau akhirnya mengeluarkan kalkulatornya dan mulai menghitung ulang dosisnya. Hasil yang ia dapatkan sama dengan yang tertera di resep. Tetapi saya meminta beliau mengulangi menghitung kembali dan akhirnya kudapati kesalahan beliau. Pun akhirnya kami memiliki hasil hitungan yang sama. Dan beliau menambahkan tanda koma sehingga 25 berubah menjadi 2,5 mg. Beliau sangat berterima kasih kepada saya karena ‘menjaga’nya dari kesalahan fatal. Sayapun senang karena peperangan batin saya kumenangkan dengan mengambil tindakan yang benar.'
 
Dari kasus ini kita bisa melihat betapa vitalnya fungsi seorang apoteker dalam menjamin keamanan pengobatan. Prof. Zullies Ikawati, Apt mengatakan beberapa dokter menganggap apoteker itu seperti polisi yang mencari-cari kesalahan dari seorang dokter. Padahal kita bertugas tidak lain untuk membantu dan menjaga mereka dari kesalahan. Apoteker berfungsi dalam mengontrol dan menjamin kualitas sebuah pengobatan (quality control dan quality assurance) dengan tujuan yang sama dengan dokter yaitu kesembuhan pasien.
 
Disini terlihat adanya miskonsepsi peran apoteker di mata dokter. Padahal jaminan akan kualitas pengobatan yang mencakup efikasi, keamanan dan biaya berlandaskan prinsip rasionalitas pengobatan, jelas sebuah kemutlakan.
 
Tertutupnya ruang komunikasi terkadang membuat kita sebagai apoteker sering juga bertindak sendiri. Contohnya kasus yang pernah saya dapati, dalam sebuah resep dari poli saraf terdapat dua buah obat golongan AINS dan dikarenakan akses komunikasi ke dokter tidak ada, memaksa saya untuk melakukan tindakan melanggar etika, mengeluarkan satu obat golongan AINS tersebut tanpa izin dari dokter penulis resep. Bagi saya saat itu, pasien lebih penting dari etika. Tentunya hal seperti ini kita tidak inginkan bersama. Karena bagaimanapun etika profesi bukanlah hal yang bisa dengan mudah disepelekan apatah lagi hal tersebut menyangkut profesi lain.
 
Dari kedua pengalaman yang saya tuliskan diatas kita bisa menilai sendiri apa yang harus dan tidak harus kita lakukan sebagi seorang apoteker. Kita bisa mendapatkan kepercayaan dari sejawat dokter jika kita memang memiliki kapasitas profesional dalam menjalankan kompetensi kita. Caranya tidak lain dan tidak bukan kita harus terus mengasah diri melalui proses continuing education baik secara formal maupun non formal. Memanfaatkan akses internet sebaik mungkin dengan mengupdate ilmu-ilmu kefarmasian dan mengikuti forum-forum diskusi ilmiah. Dan yang terpenting kita haruslah senantiasa memperbaiki niat kita, lillahi ta’ala, hanya karena dengan ini maka kita mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada didunia klinik.
 
Komunikasi diantara kedua profesi ini tidak harus dimulai dari hubungan khusus kan ? *smile
 
Semoga sharing ini ada manfaatnya, semoga saya tidak termasuk orang yang dimaksud oleh kutipan indah ini :
 
Tipis. Sungguh tipis sekali antara berbagi pengalaman untuk menjadi motivasi, atau untuk mendapatkan sanjung puji. Yang pertama memberikan inspirasi, yang kedua hanya bangkitkan ujub diri. Niat dari yg berbagi dan prasangka yg mendengarkan adalah yg membedakan keduanya (DR).
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Hikmah, Pasar Sentral, Aku dan Ayah (Part Universitas Kehidupan Muh Akbar Bahar)

Dari Kondom hingga Lipitor.